Dahulu di rumah orang tua kami sempat jualan es batu, karena yang punya kulkas jaman dulu masih jarang. Sebenarnya kulkas yang kami miliki pun tidaklah istimewa, karena frezzernya pun tidak terlalu besar. Namun, di lingkungan kami sangat jarang orang yang memiliki kulkas, karena hal itu berarti juga harus menaikan daya listrik, yang berarti juga tagihan listrik yang akan meningkat juga setiap bulannya.
Es batu kami buat dari air matang, dimasukkan ke dalam plastik es batu, kemudian diikat, dan dimasukkan ke dalam frezzer. Saya tidak tahu ide awal untuk menjual es batu ini dari mana, hanya saja setiap hari selalu saja ada orang yang datang ke rumah untuk membeli es batu.
Satu es batu kami jual Rp 100,-. Harga yang cukup masuk akal pada jaman dahulu sekitar tahun 90-an. Es batu kami pun cukup laku keras.
Uang yang diberikan biasanya berbentuk koin, jaman dulu uang koin seratus diameternya cukup besar dan juga tipis. Aturan mainnya adalah semua hasil penjualan es batu dimasukkan ke dalam celengan.Nama celengannya kami sering sebut "Celengan Es Batu", karena berisi uang-uang hasil penjualan es batu. Celengan es batu ini berbentuk kucing yang terduduk. Ditaruh persis di atas kulkas kami yang juga tingginya tidak sampai ukuran dada orang dewasa.
Kami sangat bahagia kalau ada pembeli es batu yang datang, kami berikan es batunya, dan kami masukkan dengan penuh semangat ke celengan tersebut. Kami akan melakukannya dengan penuh dedikasi dan komitmen tinggi.
Hingga suatu ketika.
Muncul masalah, uang jajan yang diberikan mingguan oleh orang tua sekitar Rp 7.000,- per minggu, habis ditelan bumi di pertengahan minggu. Sementara di luar terdengar suara angin kencang dan teriakan anak-anak menaikkan layangan, lebih lagi suara layangan yang saling tarik menarik begitu menggoda untuk dilihat keperkasaannya di langit. Stok layanganku sedang habis, bermain kemarin tanpa gelasan, hanya kenur, dan putus begitu saja disambar oleh si Mbet, seniorku dalam bermain layang-layang di kampung belakang.
Muncul ide jenius yang luar biasa picik dari otakku.
Rumah sedang sepi, orang tua sedang bekerja, dan aku mulai mendekati kulkas.
Persis di hadapan kulkas itu, aku menengok ke arah si kucing, celengan es batu.
Aku menatap dengan tajam pada matanya seraya bergumam sendiri:
"Engkaulah penolong di saat aku kesusahan...".
Aku perhatikan panjang lubang si celengan, dan mulai membalikkan celengan tersebut ke bawah. Namun agak sulit keluar uang koin yang ada di dalamnya. Aku pun mulai mencari benda apa yang cocok untuk mencongkelnya.
Kudapatkan penggaris kecil. Ah cocok sekali pikirku.
Aku mulai menusuk-nusukkan penggaris ke dalam lubang celengan es batu.
Karena uang koin seratusan diameternya cukup besar, maka dengan beberapa kali tusukan, koin tersebut bisa dipaksa merubah posisi sesuai dengan lurusnya penggaris, dan meluncur dengan manis ke mulut celengan.
Dengan muka penuh kebahagiaan, aku mulai mengumpulkan pundi-pundi hasil rampokanku. Aku mengambil secukupnya, cukup 2 koin saja, cukup membeli layangan untuk dimainkan hari ini.
Setelah kejadian itu, sering karena uang jajan habis, aku mencuri dengan cara mengorek lubang celengan dengan penggaris supaya koinnya bisa keluar.
Alhasil celengan tidak pernah penuh-penuh.
Suatu saat, karena terlalu bersemangat mencuri, lubang celengan yang terbuat dari tanah liat pecah.
Tragedi yang sangat mencekam karena aib ku ini terancam kepunahannya yang bisa membuat bapak marah besar karena dia paling tidak setuju dengan kejujuran. Kucari lem namun tidak ada. Akhirnya terpaksa kupakai nasi dan kutempelkan ke bagian yang pecah dan direkatkan lagi ke mulut kucing celengan. Aman pikirku.
Namun, tak lama, akhirnya ketahuan oleh orang tua. Kenapa? Karena ternyata selain aku, diam-diam abang dan adikku pun berbuat yang sama. Alhasil celengan es batu yang tadinya masih bisa kukontrol pengurangannya agar tidak terlalu ekstrim terasa, malah menjadi enteng tambah ringan karena diembat rame-rame.
Bapak dan Mamah marah besar. Mereka memang seperti dewa yang tahu semua kelakuan anak-anaknya walau kita menutup-nutupinya serapat mungkin.
Kami bertiga dimasukkan ke kamar, dihukum pakai rotan penggebuk kasur, dan diajarkan supaya tidak mengulanginya lagi.
Hari itu mungkin punggung kami sakit dipukul rotan. Tapi hari itu juga aku sadar tentang mahalnya sebuah kejujuran, dan murahnya sebuah pencurian. Aku diajarkan bahwa untuk mencuri itu gampang sekali, modal penggaris dan goyangan pada celengan langsung dapat uang jajan. Namun untuk tetap jujur walau begitu banyak godaan, itu mahal dan sulit sekali dilakukan, dan hari itu aku dihajar oleh orang tua untuk bisa melakukan hal tersebut melalui tragedi celengan es batu.
Comments
Post a Comment