Hari itu aku balik kantor seperti biasa. Harus nunggu bus PPD atau mayasari yang udah bobrok dan peyot di sana-sini. Pasti penuh pula! Aku menyebrang pas lampu merah. Ah, harus menjemput bola ni, aku pikir...kalo engga pasti penuh duluan dan lama dapet bus-nya. Aku berjalan terus ke arah yang berlawanan. Sampai juga di fountain, persis depan sebuah cafe. Di sini memang tempat favorit ku nunggu bus, karena bisa mendengar aliran sungai dan membuatku tidak bosan menunggu. Di depanku persis, baru saja menyebrang seorang bapak-bapak. Dia memegang tongkat dan dengan tongkat itu dia meraba-raba jalan. Dalam hitungan detik otakku berputar, kalau aku tolong dia-pasti akan merepotkanku, padahal aku pengen pulang cepat. Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa aku harus menolongnya. Dengan modal nekad dan tidak peduli bahwa aku baru sembuh dari sakit, serta tidak mengindahkan penatnya kaki ini...aku hampiri bapak-bapak tadi. Ya, dia seorang buta. Aku tepuk pundaknya dengan pelan, sambil berkata &quo